Senin, 16 Desember 2013

Jingga Cinta Kita



Jingga Cinta Kita
Oleh Effendy Wongso


                Hanya dengan satu lirikan mata segalanya dapat ber­­ubah. Erina me­nye­sali pertemuan yang tidak disangka-sangkanya itu. Tiga tahun dikubur­nya ki­sah sepat itu. Tiga ta­hun pula digebahnya jauh-jauh kenangan cinta perta­ma­nya. Na­mun sekarang dia datang. Mengusik kesendiriannya yang da­mai.
                “Jaelany Akbar Yusuf….”
                Please. Jangan singgung nama Jay lagi!”
                Gadis itu seperti mafhum. Manut mengakuri perin­tah­nya yang seperti titah. Maklumat itu tentu bukan tanpa ala­san. Kalau si Prenjak itu sedih seo­lah berkabung begitu, pas­ti ada bayang gelap di balik kisah masa lalunya. Dan dia meng­hormati keputusan yang diambilnya demi memper­ta­han­kan  pe­r­­sa­habatan yang telah dibina sekian tahun.
                Kehadirannya yang tiba-tiba itu seperti meteor. Da­tang tanpa surat undangan. Mengobrak-abrik hatinya yang su­dah tertutup rapat-rapat untuk se­suatu yang bernama cin­ta. Cowok itu, adalah setitik nila yang melantak­kan sega­la­nya!
                Lalu gadis itu terkapar ke silam masa lalu. Padang kenangan meng­ham­­parkan trauma, meneteskan titik-titik gulana yang mengucur seperti air sungai dari sepasang mata bolanya!
                “Sori, Jean. Bukan maksudku….”
                “Sudahlah, Rin. Aku tidak marah, kok.”
                “Tadi aku kasar terhadapmu.”
                “Bukan kamu sengaja. It’s okay.”
                “Tapi….”
                “Tapi apa? Hei, jangan menyesal seperti orang terpi­da­na mati begitu dong, Rin. Kalau kamu begitu, justru aku yang merasa bersalah padamu.”
                “Jay….”
                “Hei, bukankah kamu bilang kepadaku, jangan me­nying­gung namanya lagi?!”
                “Benar. Tapi….”
                “Kamu masih merindukannya?”
                Erina melototkan matanya yang merah seusai me­ng­­uras semua air­matanya tadi. Kali ini Jeanita tidak dapat me­ng­elak tawa. Gadis itu masih me­nyimpan wangi kenang­an cinta pertamanya!
                “Nah, lho?”
                “Jangan meledekku!”
                “Siapa juga yang meledek?! Aku cuma merasa lu­cu!”
                “Eh, mukaku berjelaga debu ya, sehingga tampak lu­cu seperti topeng monyet?!”
                “Tentu saja tidak.”
                “So, kenapa kamu tertawa?”
                “Aku tertawa karena benar kata pepatah. Cinta per­ta­ma dibawa sam­pai mati!”
                “Eh, ka-kamu…!”
                “Sori. Jangan marah. Mimikmu seperti kanibal saja.”
                “Benar! Aku bisa jadi kanibal seperti Sumanto, dan men­cabik-cabik tubuhmu kalau kamu ledek aku terus-te­rus­an begitu!”
                “Ih, macan kali yee!”
                “Habis….”
                “Hihihi… aku sampai lupa kalau kamu habis me­na­ng­is karena emosi.”
                “Makanya….”
                “Makanya aku mau ngajak kamu makan di McDi se­ba­­gai penawar rasa bersalah.”
                “Aku bukan orang yang gampang makan sogok, Non.”
                “Traktir bukan sogokan. Terserah, mau ikut atau ti­dak. Pilih, yes or not!”
                “Hm, aku pilih yes, deh.”
                “Nah, begitu dong!”

***
               
                “Dulu sebelum keluarganya pindah ke Mampang, Jay tinggal dua rumah dari ru­mahku….”
                “Oh, I see. Tetanggaku idolaku!”
                “Eh, nih anak!”
                “Hihihi… sori. Trus?”
                “Mulanya dia kuanggap saudara. Waktu kecil kami se­ring main bersa­ma. Makanya, aku dan keluarganya sangat dekat. Bokap-nyokapnya seperti orangtuaku juga.”
                “Kok kalian bisa berantakan begitu sih, Rin?”
                “Aku juga tidak mengerti. Dia tiba-tiba bisa berubah drastis begi­tu….”
                “Maksudmu….”
                “Kami dua tahun pacaran. Sebetulnya tidak ada yang aneh dalam hu­bungan kami itu. Semuanya berjalan wa­jar. Bahkan persaudaraan kami lebih kuat dibanding dulu. Ta­pi semuanya berubah sejak kehadiran Ellen….”
                “Ellen?!”
                “Dia saudara sepupu Jay. Anak Makassar yang seko­lah di Aussy!”
                “Apa hubungannya….”
                “Aku tidak tahu, apakah dia merupakan orang keti­ga biang pelantak hubungan kami!”
                “Kok?”
                “Ellen sebenarnya hanyalah korban dari tradisi pri­mor­­dialisme yang masih berlaku aklamasi di sebagian kecil ka­langan orangtua kolokan masya­rakat Bugis-Makassar.”
                “Maksudmu?!”
                “Begini. Pernikahan antarsaudara sepupu memang di­terapkan untuk kaum mu­da di sana dengan asumsi asal-usul­nya yang jelas. Sebenarnya baik. Tapi, kadang-kadang hal tersebut merusak kebebasan memilih pendamping hidup untuk si Anak, karena mereka biasanya dijodohkan tanpa me­­lalui proses pe­nge­nalan hati alias berpacaran.”
                “Dan itu berlaku untuk Jay dan Ellen maksudmu?!”
                “Siapa lagi?!”
                “Kasihan!”
                “Nah, kamu yang tidak menjadi korban saja bisa te­re­nyuh begitu, apa­­lagi aku? Huh, sakitnya tidak ketulungan!”
                “Kok, masih ada adat istiadat begituan sih, Rin?!”
                “Bukan adat istiadat. Tapi lebih merupakan keegois­an orangtua yang tidak memikirkan kepentingan dan keba­hagia­an anak-anak mereka.”
                “Lalu, setelah kamu dihempaskan Si Jay itu, apa yang kamu lakukan?”
                “Eh, memangnya aku sampah yang dicampakkan?!”
                “Sori. Cuma konotasi.”
                “Huh, di situlah bencinya aku terhadap banci itu!”
                “Hei, kok kamu bilang dia banci sih, Rin?!”
                “Habis pengecut begitu!”
                “Maksudmu….”
                “Dia tinggal diam seperti patung, manut seperti ro­bot. Disuruh meni­kah dengan gadis sepupunya yang tidak di­cin­tainya itu dia oke juga. Lha, apa itu bukan banci nama­nya?!”
                “Iya, sih. Hei, kalau aku sih pasti melawan kehendak orangtua kolo­kan begitu! Dan tetap mempertahankan kese­tia­anku pada orang yang aku cintai.”
                “Tapi sayangnya kamu bukan Jay!”
                “Hihihi… iya, sih.”

***

                “Tadi….”
                “Tadi dia datang ke rumah.”
                “Ngapain?!”
                “Menyampaikan kalau dia ingin kembali kepadaku!”
                “Ya, ampun! Jangan mau, Rin. Memangnya kamu su­­di dapat suami  yang suka berpoligami?!”
                “Eh, dengar dulu, Non! Jangan motong begitu, dong. Si­­apa bilang dia sudah menikah?!”
                “Ja-jadi….”
                “Dia itu belum menikah, Sayang.  Katanya, tiga hari men­jelang akad nikah, dia lari ke Kupang. Dia berontak ter­ha­dap keinginan orangtua masing-masing pihak.”
                “Wah, berarti dia serius sama kamu dong, Rin!”
                “Hah, serius katamu?!”
                “Iya, dong. Kalau tidak serius, kenapa juga dia mela­ri­kan diri begitu?”
                “Kalau dia serius, sejak mula harusnya berontak. Bu­kan­nya setelah se­­­­mua surat undangan nyebar ke seluruh pe­lo­sok negeri!”
                “Hihihi… iya, sih. But, apakah kamu tidak dapat me­ne­rimanya kem­bali?”
                “Cintaku kepadanya mungkin hanya tersisa sebagai ke­nangan. Sejak dia tidak berkutik menolak keinginan orang­­tuanya dan juga orangtua El­len, aku jadi tidak bersim­pa­ti lagi padanya!”
                “Tapi, Jay kan masih cinta kamu. Masa sih kamu te­ga….”
                “Bukannya aku tidak mau kembali, Jean. Tapi, me­mang ada saatnya bi­lang ‘tidak’ pada hal-hal yang bakal mem­­porak-porandakan hatimu untuk ke­dua kalinya!”
                “Kamu trauma?”
                “Salah satu sebabnya, ya memang itu!”
                “Tapi….”
                “Sudahlah, Jean. Dunia tidak bakal kiamat kalau aku tidak bersama Jay, kan?”
                “Iya, sih. Tapi….”
                “Tapi apa lagi, sih?”
                “Tapi sayang dong, Rin. Jay itu cute banget, lho?”
                “Mau kiyut atau imut kek, aku tidak mau jatuh da­lam lubang yang sa­ma. Kadung sakit hati, tahu tidak?!”
                “So, apa rencanamu selanjutnya menyikapi kengo­tot­an cowok itu nge­­­­­jar-ngejar kamu lagi?”
                “Sekali tolak tetap tolak!”
                “Sadis!”
                “Biarin! Eh, atau bagaimana kalau kamu saja yang menyambut cinta­nya?”
                “Memangnya bola apa disambut?”
                “Kata kamu barusan dia cute, kan?!”
                “Ogah, ah!”
                “Hahaha… kok, kamu ogah sih?”
                “Hm, ya tidak mau ya tidak mau!”
                “Hahaha… takut, ya?” ©  

Sayonara, Ruki (1)



SAYONARA, RUKI
               

                Mengikuti partyzone seperti hari ini memang bukan ke­­biasaannya. Sar­wa­na sama sekali tidak suka dengan iklim hu­­ra-hura, meski kadang-kadang ke­wa­jiban profesinya seba­gai guide di sebuah travel mengharuskan dia mengikuti ruti­ni­­tas hiburan sebagaian besar para turis itu.
                Untung malam ini Mr. John Rickers tidak terlalu ngo­tot ingin mengikuti acara pesta sampai pagi. Jadi dia bisa te­nang beristirahat, dan tidak melulu begadang sampai kan­tung matanya menghitam. Usia senja memang tidak meng­i­zinkan lagi tubuh visitor-nya yang besar itu untuk bergerak ter­lalu lama. Dan orangtua itu cukup bijak menyadari dirinya sen­diri. Separuh tenaga tuanya me­mang sudah habis untuk me­ngelilingi Bedugul dan beberapa obyek wisata lain­nya di Ta­nah Lot pagi hingga sore hari tadi.  
                Diputarnya tumit ke arah bartender setelah berpisah de­ngan bule tua asal Amsterdam itu. Sayang kalau voucher minumannya ditinggal mubazir. Jadi di­putuskannya untuk menukarkannya dengan segelas minuman ringan. Dan dia ba­­ru saja bergerak dua tindak ketika seorang gadis Jepang me­­nab­raknya tidak sengaja.
                Sumimase1,” ujarnya dalam bahasa Jepang.
                I-It’s o-okay.” Gadis bermata sipit itu kelimpungan. Ter­balik. Seharus­nya sayalah yang minta maaf, bukan dia! se­­runya dalam hati. “Oh, I’m sorry. This is my fault.
                Sarwana menanggapinya dengan senyum. Sama se­ka­li tidak menyalah­kan gadis itu meski Coca-Colanya terpen­tal dan tumpah di lantai café. Sebuah ang­gukan kecilnya me­nyu­dahi kejadian kecil tadi. Dia pamit setelah bilang sa­yo­na­ra2. Dan menghilang di rimba manusia yang tengah ber­go­yang mengikuti irama dari band di atas panggung.
                Tapi gadis itu mencecarnya. Belum mau ditinggal be­gi­tu saja meski tidak ada sanksi apa-apa yang dikenakan pa­danya. Diterobos­nya rimba manusia yang memadati ru­ang­an café malam hari ini. Tiga malam berturut-turut dia ke­ma­ri, tidak biasanya tempat hiburan di salah satu Kuta Squ­a­re ini padat pengunjung, keluhnya. Diedarkannya matanya ke pojok ruangan. Cowok tadi sudah menghi­lang.    
                 Dia berputar-putar. Masih berusaha mencari cowok ta­di. Dia mengelak ke­ti­ka tubuhnya nyaris terpental oleh se­bu­ah dorongan tak sengaja dari seo­rang lelaki bule berte­lan­jang dada. Tanpa merasa bersalah lelaki tinggi besar itu me­ning­galkannya tanpa bilang apa-apa. Sementara itu band di atas pang­gung masih menghentak-hentak. It’s My Life-nya Bryan Adam terdengar serak dari suara sang penyanyi ketika dia memutuskan untuk berhenti sementara men­cari cowok ber­kulit sawo matang tadi. Dia duduk di sebuah bangku ko­song.
                May I sit here?”
                Mata sipit gadis itu sertamerta membola. Cowok yang dicari-carinya ber­diri tepat di hadapannya. “Oups….”
                “Hey, what are you looking for?”
                “Nothing,” balas gadis berkulit putih itu, lalu menca­cah­­nya dengan per­ta­nyaan secepat peluru. Dia tidak ingin ke­­hilangan orang yang sedari tadi dica­ri-­carinya itu. “Exused me. Where are you come from?”
                “I’m stay here.”
                “Oya? Rupanya kamu orang Indonesia. Saya sangka ka­mu dari Puerto Rico.”
                “Hei, Anda bisa berbahasa Indonesia?”
                “Sedikit. ”
                “Bagus. Jadinya, kita bisa berkomunikasi dengan lan­­car. Maaf ya kalau bahasa Jepang saya masih kaku. Dari­pa­da keseleo, mendingan saya berbahasa Indonesia saja. An­da setuju, kan?”
                Sure. Eh, jangan formil begitu, dong. Saya jadi risih, nih.”
                “Oke, oke. Saya lihat, sedari tadi kamu mutar-mutar di ruangan café. Ca­ri siapa? Sori ya, atas kejadian tadi. Mung­kin baju kamu basah kena tum­pah­an minuman.”
                “Tidak. Justru, sayalah yang seharusnya minta maaf karena menabrak dan menumpahkan minuman kamu. Eh, kenapa kamu tidak marah, sih? Saya ja­di penasaran dan men­cari-cari kamu ke sana kemari seperti cacing kepa­nas­an. Saya mau minta maaf sekali lagi.”
                “Oh, rupanya kamu uber saya untuk minta maaf, ya?”
                “Bukan begitu….”
                “Apa saya pernah….”
                “Hihihi. Kamu jangan salah sangka dulu. Saya ngu­ber kamu bukan karena hendak menagih utang.”
                “Syukurlah. Soalnya, saya lari ke tempat ini karena ing­in menghindari utang-utang saya yang menumpuk di lu­ar.”
                “Memangnya kamu punya banyak utang apa di lu­ar?”
                “Hah, jangan pikir saya ini anak konglomerat. Kamu li­hat, jins belel dan kaos oblong ini. Ini adalah simbol ke­me­la­ratan anak indekos.”
                “Hihihi. Lagu lama kebanyakan anak kuliahan.”
                “Hei, kamu tahu banyak tentang Indonesia?”
                “Tentu saja. Saya pernah menjadi duta pertukaran pe­lajar Jepang-Indo­ne­sia dua tahun lalu di Makassar.”
                “Pantasan.”
                “Justru karena itulah saya nguber kamu. Sekadar un­­tuk berbagi rasa….”
                “Hei, jangan anggap saya ini biro curhat tempat pe­nam­pungan unek-unek­mu. Arigato goisimasta3 atas keper­ca­yaan kamu terhadap saya. Persoalan saya sendiri saja ti­dak beres-beres….”
                Gadis itu tersenyum mendengarkan gurauan Sarwa­na, cowok kenalan baru­nya di dalam ruangan café. Ada se­pa­sang lesung yang menyembul di sudut bibirnya. Indah se­per­ti bunga sakura. Sarwana memandangnya kagum. Kelu­wes­­an gadis itu memikat hatinya. Menebarkan pesona yang ja­rang didapatinya dari serangkaian persahabatannya deng­an gadis lain.   
                “Astaga, kita belum kenalan!” Gadis berdagu lancip itu menepuk kepala­nya pelan. “Padahal, sudah sok akrab be­­gitu….”
                “Sarwana Parawangsa.” Sarwana mengangsurkan te­lapak tangan kanan­nya ke arah gadis itu. “Status masih bu­jangan, sekarang sudah men-‘duda’ lagi karena baru saja di­tinggal pacar.”
                Gadis itu menjabat tangan yang diangsurkan ke ba­wah perutnya. “Saya Ruki. Ruki Hirosue. Asal Narita. Pelajar. Sta­tus, gadis beranak satu.”
                “Hah, maksudmu apa sih?!” Sarwana ternganga de­ng­an rupa bingung. “Kamu gadis tapi sudah punya anak? Mak­sudmu, kamu janda….”
                “Hihihi. Maksud saya, saya ini gadis yang memiliki sa­tu anak kucing be­ti­na yang bernama Mimi Hirosue.”
                Sarwana terbahak. “Asal! Kamu nakal, ya?” serunya sembari menjawil pipi gadis itu tanpa sadar.  
                “Eh, kamu kok ngerti bahasa Jepang, sih?”
                “Saya pernah kursus di Jakarta.”
                “Kursus?”
                “Tidak sampai mahir. Waktu itu saya masih kelas satu SMA. Ada iming-iming beasiswa ke Jepang dari sekolah un­tuk beberapa siswa teladan. Karena terobsesi, saya jadi gi­at belajar. Dan mengambil kegiatan ekstra kokurikuler ba­­­ha­sa Jepang. Lucu juga ya, mengingat motivasi yang melatar­be­lakangi niat saya bisa berbahasa Jepang.”
                Gadis itu tersenyum. “Edukasi kita mirip. Tapi moti­va­sinya beda.”
“Eh, kamu ceritakan dong sedikit tentang Jepang. Hm, saya paling suka melihat bunga sakura….”

***

                “Bunga sakura berwarna merah muda. Sangat muda se­hingga nampak memutih dari kejauhan. Bunga ini mem­pu­nyai lima kelopak dan sangat kecil, sehingga sulit dinik­ma­ti keindahannya secara individual. Keindahan sakura just­ru terletak pada jumlahnya yang sangat banyak memenuhi ka­nopi pohon, dan mekar bersamaan. Seperti halnya tulip di Be­landa, mekarnya sakura juga menandai awal musim semi di Jepang”.
Sudah pukul sebelas malam ketika Ruki menceritan ke­indahan simbol Ne­ge­ri Matahari Terbit tersebut. Hingar bi­ng­ar suasana café sedikit meng­ganggu. Namun gadis itu ma­sih saja bersemangat berkisah tentang negerinya.
“Dan di Taman Ueno….”
“Taman Ueno?”
Haik. Taman Ueno merupakan salah satu sakura gar­den yang paling ramai dikunjungi di Tokyo. Eh, sebetulnya di Tokyo ada beberapa tempat untuk melihat sakura pada awal musim semi. Misalnya, di seputaran Istana Kaisar ‘Im­pe­rial Park’, yang dikelilingi dengan danau buatan Hanzo-bo­ri yang ciamik. Danau itu tampak lebih cantik dengan pantul­an bayangan juntaian cabang-ca­bang pohon sakura yang sa­rat dengan bunga, yang menjulur ke atas air danau. Seperti cer­min raksasa. Wah, indah sekali pokoknya. Turis-turis man­ca­negara yang kebetulan menginap di Palace Hotel, da­pat melihat dengan leluasa pe­mandangan ‘Imperial Park’ yang sangat indah melalui jendela kamar mereka.”
“Duh, asyik sekali.”
“He-eh,” angguk gadis itu dengan mata berbinar-bi­nar. Dijedahinya lima detik cerocosannya untuk menyeruput jus apel pesanannya. “Bersamaan de­ngan mekarnya sakura, di bawah-bawah pohon sakura biasanya telah pula mun­cul bu­nga-bunga kecil berwarna kuning yang menambah cantik su­asana. Di Ta­man Ueno, tidak jauh dari stasiun kereta Ue­no, sakura malah tumbuh menak­jubkan. Sewaktu Fifa World Cup 2002, saya sempat mampir ke sana. Trans­por­tasi ke sa­na juga tidak sulit. Karena dari stasiun Ueno ini memang ada ke­reta langsung ke Narita. Kalau di ‘Imperial Park’ peng­un­jung tidak boleh menggelar tikar untuk piknik dan makan, di Ueno hampir semua pengunjung datang justru untuk piknik. Ti­dak perlu kuatir seandainya lupa membawa bekal makan­an dari rumah. Cukup banyak kedai kecil di sekitar Ueno yang menjajakan o-bento untuk di makan di Ueno.”
O-bento?”
“Itu sejenis makanan dalam kotak.” Ruki menjelas­kan antusias. “Hampir semua orang Jepang tidak pernah me­­le­watkan kesempatan setahun sekali ber­pik­nik di bawah na­ungan sakura. Orang Jepang menyebut kegiatan itu seba­gai hana-mi, yang secara harfiah berarti menonton bunga. Se­kalipun bunga sakura sudah mulai mekar pada akhir Ma­ret, biasanya baru pada minggu kedua April diselenggarakan fes­tival sakura. Setiap acara festival, masyarakat Jepang se­la­lu memadati taman-taman maupun tempat-tempat bunga sa­kura itu tumbuh.”
“Wah, heboh sekali, dong?”
“Sudah pasti. Terus, ada pula tradisi di kalangan pa­ra petani Jepang, ya­i­tu melakukan upaca­ra minum sake4 di ba­wah naungan kanopi bunga sakura. Upacara ini bertujuan untuk mengharapkan hasil panen yang baik pada tahun beri­kut­nya.” Ruki masih bercerita panjang-lebar. “Eh, mungkin mi­rip dengan kegiatan kultural orang-orang Sulawesi Selatan di Indonesia jika habis menuai padi. Kalau tidak salah na­ma­nya ‘Lappo Ase’. Kira-kira berarti Panen Raya.”
“Wah, kamu masih ingat budaya Bugis-Makassar, ya?”
“Sedikit, sudah lupa-lupa ingat.” Ruki mengerutkan da­hinya. “Orang Je­pang juga percaya bahwa pohon sakura me­rupakan tumbuhan suci yang me­nyim­bolkan hubungan an­tara Tuhan dan ma­nu­sia. Karena itu, melakukan hana-mi ju­ga merupakan ritual keagamaan. Yang jelas, ketika me­nyak­sikan keindah­an sakura, orang tidak mungkin menyang­si­kan keagungan Tuhan.”
                “Oya? Ternyata bunga sakura memiliki banyak mak­na, ya?”
                “Kalau bicara mengenai bunga sakura, pasti tidak ada habisnya,” ulas Ru­ki bangga. “Sakura memang bunga yang sangat dicintai dan dibanggakan ma­sya­­rakat Jepang. Bah­kan menjadi simbol nasional bangsa kami. Para pejabat pe­­merintah dan diplomat Jepang misalnya, sering menggu­na­kan lambang saku­ra sebagai label pin pada jas mereka. Bu­nga sakura juga menjadi desain yang muncul dalam ber­ba­gai kerajinan khas Jepang. Seperti pada kimono5, tatami6, ki­pas, cangkir, dan lain-lain.”
                “Duh, saya jadi ngiler ke Jepang.” Sarwana berujar dengan mimik me­me­las.
                “Oh ya, lalu obsesimu bagaimana, dong?”
                Cowok itu menggeleng lunglai. Sinar di matanya me­re­dup. Dihimpunnya alur lawas yang tersimpan di memori otak­nya. Hatinya memerih. Ada seribu ke­nangan getir dalam lem­bar-lembar hitam masa remajanya. Dia ingin melupakan se­galanya. Membilasnya dengan buliran waktu yang berjalan ce­pat. ©