CERITA KECILMU
Rabu, 18 Desember 2013
Senin, 16 Desember 2013
Jingga Cinta Kita
Jingga Cinta Kita
Oleh Effendy Wongso
Hanya dengan satu lirikan mata segalanya dapat berubah.
Erina menyesali pertemuan yang tidak disangka-sangkanya itu. Tiga tahun
dikuburnya kisah sepat itu. Tiga tahun pula digebahnya jauh-jauh kenangan
cinta pertamanya. Namun sekarang dia datang. Mengusik kesendiriannya yang damai.
“Jaelany Akbar Yusuf….”
“Please.
Jangan singgung nama Jay lagi!”
Gadis itu seperti mafhum. Manut mengakuri perintahnya
yang seperti titah. Maklumat itu tentu bukan tanpa alasan. Kalau si Prenjak
itu sedih seolah berkabung begitu, pasti ada bayang gelap di balik kisah masa
lalunya. Dan dia menghormati keputusan yang diambilnya demi mempertahankan persahabatan yang telah dibina sekian
tahun.
Kehadirannya yang tiba-tiba itu seperti meteor. Datang
tanpa surat
undangan. Mengobrak-abrik hatinya yang sudah tertutup rapat-rapat untuk sesuatu
yang bernama cinta. Cowok itu, adalah setitik nila yang melantakkan segalanya!
Lalu gadis itu terkapar ke silam masa lalu. Padang kenangan menghamparkan
trauma, meneteskan titik-titik gulana yang mengucur seperti air sungai dari
sepasang mata bolanya!
“Sori, Jean. Bukan maksudku….”
“Sudahlah, Rin. Aku tidak marah, kok.”
“Tadi aku kasar terhadapmu.”
“Bukan kamu sengaja. It’s okay.”
“Tapi….”
“Tapi apa? Hei, jangan menyesal seperti orang terpidana
mati begitu dong, Rin. Kalau kamu begitu, justru aku yang merasa bersalah
padamu.”
“Jay….”
“Hei, bukankah kamu bilang kepadaku, jangan menyinggung
namanya lagi?!”
“Benar. Tapi….”
“Kamu masih merindukannya?”
Erina melototkan matanya yang merah seusai menguras
semua airmatanya tadi. Kali ini Jeanita tidak dapat mengelak tawa. Gadis itu
masih menyimpan wangi kenangan cinta pertamanya!
“Nah, lho?”
“Jangan meledekku!”
“Siapa juga yang meledek?! Aku cuma merasa lucu!”
“Eh, mukaku berjelaga debu ya, sehingga tampak lucu
seperti topeng monyet?!”
“Tentu saja tidak.”
“So, kenapa kamu tertawa?”
“Aku tertawa karena benar kata pepatah. Cinta pertama
dibawa sampai mati!”
“Eh, ka-kamu…!”
“Sori. Jangan marah. Mimikmu seperti kanibal saja.”
“Benar! Aku bisa jadi kanibal seperti Sumanto, dan
mencabik-cabik tubuhmu kalau kamu ledek aku terus-terusan begitu!”
“Ih, macan kali yee!”
“Habis….”
“Hihihi… aku sampai lupa kalau kamu habis menangis
karena emosi.”
“Makanya….”
“Makanya aku mau ngajak kamu makan di McDi sebagai
penawar rasa bersalah.”
“Aku bukan orang yang gampang makan sogok, Non.”
“Traktir bukan sogokan. Terserah, mau ikut atau tidak.
Pilih, yes or not!”
“Hm, aku pilih yes, deh.”
“Nah, begitu dong!”
***
“Dulu sebelum keluarganya pindah ke Mampang, Jay
tinggal dua rumah dari rumahku….”
“Oh, I see.
Tetanggaku idolaku!”
“Eh, nih anak!”
“Hihihi… sori. Trus?”
“Mulanya dia kuanggap saudara. Waktu kecil kami sering
main bersama. Makanya, aku dan keluarganya sangat dekat. Bokap-nyokapnya
seperti orangtuaku juga.”
“Kok kalian bisa berantakan begitu sih, Rin?”
“Aku juga tidak mengerti. Dia tiba-tiba bisa berubah
drastis begitu….”
“Maksudmu….”
“Kami dua tahun pacaran. Sebetulnya tidak ada yang
aneh dalam hubungan kami itu. Semuanya berjalan wajar. Bahkan persaudaraan
kami lebih kuat dibanding dulu. Tapi semuanya berubah sejak kehadiran Ellen….”
“Ellen?!”
“Dia saudara sepupu Jay. Anak Makassar yang sekolah
di Aussy!”
“Apa hubungannya….”
“Aku tidak tahu, apakah dia merupakan orang ketiga
biang pelantak hubungan kami!”
“Kok?”
“Ellen sebenarnya hanyalah korban dari tradisi primordialisme
yang masih berlaku aklamasi di sebagian kecil kalangan orangtua kolokan masyarakat
Bugis-Makassar.”
“Maksudmu?!”
“Begini. Pernikahan antarsaudara sepupu memang diterapkan
untuk kaum muda di sana
dengan asumsi asal-usulnya yang jelas. Sebenarnya baik. Tapi, kadang-kadang
hal tersebut merusak kebebasan memilih pendamping hidup untuk si Anak, karena
mereka biasanya dijodohkan tanpa melalui proses pengenalan hati alias
berpacaran.”
“Dan itu berlaku untuk Jay dan Ellen maksudmu?!”
“Siapa lagi?!”
“Kasihan!”
“Nah, kamu yang tidak menjadi korban saja bisa terenyuh
begitu, apalagi aku? Huh, sakitnya tidak ketulungan!”
“Kok, masih ada adat istiadat begituan sih, Rin?!”
“Bukan adat istiadat. Tapi lebih merupakan keegoisan
orangtua yang tidak memikirkan kepentingan dan kebahagiaan anak-anak mereka.”
“Lalu, setelah kamu dihempaskan Si Jay itu, apa yang
kamu lakukan?”
“Eh, memangnya aku sampah yang dicampakkan?!”
“Sori. Cuma konotasi.”
“Huh, di situlah bencinya aku terhadap banci itu!”
“Hei, kok kamu bilang dia banci sih, Rin?!”
“Habis pengecut begitu!”
“Maksudmu….”
“Dia tinggal diam seperti patung, manut seperti robot.
Disuruh menikah dengan gadis sepupunya yang tidak dicintainya itu dia oke
juga. Lha, apa itu bukan banci namanya?!”
“Iya, sih. Hei, kalau aku sih pasti melawan kehendak orangtua
kolokan begitu! Dan tetap mempertahankan kesetiaanku pada orang yang aku
cintai.”
“Tapi sayangnya kamu bukan Jay!”
“Hihihi… iya, sih.”
***
“Tadi….”
“Tadi dia datang ke rumah.”
“Ngapain?!”
“Menyampaikan kalau dia ingin kembali kepadaku!”
“Ya, ampun! Jangan mau, Rin. Memangnya kamu sudi
dapat suami yang suka berpoligami?!”
“Eh, dengar dulu, Non! Jangan motong begitu, dong. Siapa
bilang dia sudah menikah?!”
“Ja-jadi….”
“Dia itu belum menikah, Sayang. Katanya, tiga hari menjelang akad nikah, dia
lari ke Kupang. Dia berontak terhadap keinginan orangtua masing-masing
pihak.”
“Wah, berarti dia serius sama kamu dong, Rin!”
“Hah, serius katamu?!”
“Iya, dong. Kalau tidak serius, kenapa juga dia melarikan
diri begitu?”
“Kalau dia serius, sejak mula harusnya berontak. Bukannya
setelah semua surat
undangan nyebar ke seluruh pelosok negeri!”
“Hihihi… iya, sih. But, apakah kamu tidak dapat menerimanya kembali?”
“Cintaku kepadanya mungkin hanya tersisa sebagai kenangan.
Sejak dia tidak berkutik menolak keinginan orangtuanya dan juga orangtua Ellen,
aku jadi tidak bersimpati lagi padanya!”
“Tapi, Jay kan
masih cinta kamu. Masa sih kamu tega….”
“Bukannya aku tidak mau kembali, Jean. Tapi, memang
ada saatnya bilang ‘tidak’ pada hal-hal yang bakal memporak-porandakan
hatimu untuk kedua kalinya!”
“Kamu trauma?”
“Salah satu sebabnya, ya memang itu!”
“Tapi….”
“Sudahlah, Jean. Dunia tidak bakal kiamat kalau aku
tidak bersama Jay, kan?”
“Iya, sih. Tapi….”
“Tapi apa lagi, sih?”
“Tapi sayang dong, Rin. Jay itu cute banget, lho?”
“Mau kiyut atau imut kek, aku tidak mau jatuh dalam
lubang yang sama. Kadung sakit hati, tahu tidak?!”
“So, apa rencanamu selanjutnya menyikapi kengototan
cowok itu ngejar-ngejar kamu lagi?”
“Sekali tolak tetap tolak!”
“Sadis!”
“Biarin! Eh, atau bagaimana kalau kamu saja yang
menyambut cintanya?”
“Memangnya bola apa disambut?”
“Kata kamu barusan dia cute, kan?!”
“Ogah, ah!”
“Hahaha… kok, kamu ogah sih?”
“Hm, ya tidak mau ya tidak mau!”
“Hahaha… takut, ya?” ©
Sayonara, Ruki (1)
SAYONARA, RUKI
Mengikuti partyzone seperti hari ini memang bukan kebiasaannya. Sarwana
sama sekali tidak suka dengan iklim hura-hura, meski kadang-kadang kewajiban
profesinya sebagai guide di sebuah
travel mengharuskan dia mengikuti rutinitas hiburan sebagaian besar para
turis itu.
Untung malam ini Mr. John
Rickers tidak terlalu ngotot ingin mengikuti acara pesta sampai pagi. Jadi dia
bisa tenang beristirahat, dan tidak melulu begadang sampai kantung matanya
menghitam. Usia senja memang tidak mengizinkan lagi tubuh visitor-nya yang besar itu untuk
bergerak terlalu lama. Dan orangtua itu cukup bijak menyadari dirinya sendiri.
Separuh tenaga tuanya memang sudah habis untuk mengelilingi Bedugul dan
beberapa obyek wisata lainnya di Tanah Lot pagi hingga sore hari tadi.
Diputarnya tumit ke arah
bartender setelah berpisah dengan bule tua asal Amsterdam itu. Sayang kalau voucher minumannya ditinggal mubazir.
Jadi diputuskannya untuk menukarkannya dengan segelas minuman ringan. Dan dia
baru saja bergerak dua tindak ketika seorang gadis Jepang menabraknya
tidak sengaja.
“Sumimase1,” ujarnya dalam bahasa Jepang.
“I-It’s o-okay.” Gadis
bermata sipit itu kelimpungan. Terbalik. Seharusnya sayalah yang minta maaf,
bukan dia! serunya dalam hati. “Oh, I’m
sorry. This is my fault.”
Sarwana menanggapinya dengan
senyum. Sama sekali tidak menyalahkan gadis itu meski Coca-Colanya terpental
dan tumpah di lantai café. Sebuah anggukan kecilnya menyudahi kejadian kecil
tadi. Dia pamit setelah bilang sayonara2.
Dan menghilang di rimba manusia yang tengah bergoyang mengikuti irama dari
band di atas panggung.
Tapi gadis itu mencecarnya. Belum
mau ditinggal begitu saja meski tidak ada sanksi apa-apa yang dikenakan padanya.
Diterobosnya rimba manusia yang memadati ruangan café malam hari ini. Tiga
malam berturut-turut dia kemari, tidak biasanya tempat hiburan di salah satu
Kuta Square ini padat pengunjung, keluhnya. Diedarkannya matanya ke pojok
ruangan. Cowok tadi sudah menghilang.
Dia berputar-putar. Masih berusaha mencari
cowok tadi. Dia mengelak ketika tubuhnya nyaris terpental oleh sebuah
dorongan tak sengaja dari seorang lelaki bule bertelanjang dada. Tanpa
merasa bersalah lelaki tinggi besar itu meninggalkannya tanpa bilang apa-apa.
Sementara itu band di atas panggung masih menghentak-hentak. It’s My Life-nya Bryan Adam terdengar
serak dari suara sang penyanyi ketika dia memutuskan untuk berhenti sementara mencari
cowok berkulit sawo matang tadi. Dia duduk di sebuah bangku kosong.
“May I sit here?”
Mata sipit gadis itu sertamerta
membola. Cowok yang dicari-carinya berdiri tepat di hadapannya. “Oups….”
“Hey, what are you looking for?”
“Nothing,”
balas gadis berkulit putih itu, lalu mencacahnya
dengan pertanyaan secepat peluru. Dia tidak ingin kehilangan orang yang
sedari tadi dicari-carinya itu. “Exused
me. Where are you come from?”
“I’m
stay here.”
“Oya? Rupanya kamu orang
Indonesia. Saya sangka kamu dari Puerto Rico.”
“Hei, Anda bisa berbahasa
Indonesia?”
“Sedikit. ”
“Bagus. Jadinya, kita bisa
berkomunikasi dengan lancar. Maaf ya kalau bahasa Jepang saya masih kaku. Daripada
keseleo, mendingan saya berbahasa Indonesia saja. Anda setuju, kan?”
“Sure. Eh, jangan formil begitu, dong. Saya jadi risih, nih.”
“Oke, oke. Saya lihat, sedari
tadi kamu mutar-mutar di ruangan café. Cari siapa? Sori ya, atas kejadian
tadi. Mungkin baju kamu basah kena tumpahan minuman.”
“Tidak. Justru, sayalah yang
seharusnya minta maaf karena menabrak dan menumpahkan minuman kamu. Eh, kenapa kamu
tidak marah, sih? Saya jadi penasaran dan mencari-cari kamu ke sana kemari seperti
cacing kepanasan. Saya mau minta maaf sekali lagi.”
“Oh, rupanya kamu uber saya
untuk minta maaf, ya?”
“Bukan begitu….”
“Apa saya pernah….”
“Hihihi. Kamu jangan salah
sangka dulu. Saya nguber kamu bukan karena hendak menagih utang.”
“Syukurlah. Soalnya, saya lari
ke tempat ini karena ingin menghindari utang-utang saya yang menumpuk di luar.”
“Memangnya kamu punya banyak
utang apa di luar?”
“Hah, jangan pikir saya ini anak
konglomerat. Kamu lihat, jins belel dan kaos oblong ini. Ini adalah simbol kemelaratan
anak indekos.”
“Hihihi. Lagu lama kebanyakan
anak kuliahan.”
“Hei, kamu tahu banyak tentang Indonesia?”
“Tentu saja. Saya pernah menjadi
duta pertukaran pelajar Jepang-Indonesia dua tahun lalu di Makassar.”
“Pantasan.”
“Justru karena itulah saya
nguber kamu. Sekadar untuk berbagi rasa….”
“Hei, jangan anggap saya ini biro
curhat tempat penampungan unek-unekmu. Arigato
goisimasta3 atas kepercayaan kamu terhadap saya. Persoalan
saya sendiri saja tidak beres-beres….”
Gadis itu tersenyum mendengarkan
gurauan Sarwana, cowok kenalan barunya di dalam ruangan café. Ada sepasang lesung
yang menyembul di sudut bibirnya. Indah seperti bunga sakura. Sarwana
memandangnya kagum. Keluwesan gadis itu memikat hatinya. Menebarkan pesona
yang jarang didapatinya dari serangkaian persahabatannya dengan gadis lain.
“Astaga, kita belum kenalan!”
Gadis berdagu lancip itu menepuk kepalanya pelan. “Padahal, sudah sok akrab begitu….”
“Sarwana Parawangsa.” Sarwana
mengangsurkan telapak tangan kanannya ke arah gadis itu. “Status masih bujangan,
sekarang sudah men-‘duda’ lagi karena baru saja ditinggal pacar.”
Gadis itu menjabat tangan yang
diangsurkan ke bawah perutnya. “Saya Ruki. Ruki Hirosue. Asal Narita. Pelajar.
Status, gadis beranak satu.”
“Hah, maksudmu apa sih?!” Sarwana
ternganga dengan rupa bingung. “Kamu gadis tapi sudah punya anak? Maksudmu,
kamu janda….”
“Hihihi. Maksud saya, saya ini
gadis yang memiliki satu anak kucing betina yang bernama Mimi Hirosue.”
Sarwana terbahak. “Asal! Kamu
nakal, ya?” serunya sembari menjawil pipi gadis itu tanpa sadar.
“Eh, kamu kok ngerti bahasa
Jepang, sih?”
“Saya pernah kursus di Jakarta.”
“Kursus?”
“Tidak sampai mahir. Waktu itu
saya masih kelas satu SMA. Ada
iming-iming beasiswa ke Jepang dari sekolah untuk beberapa siswa teladan. Karena
terobsesi, saya jadi giat belajar. Dan mengambil kegiatan ekstra kokurikuler
bahasa Jepang. Lucu juga ya, mengingat motivasi yang melatarbelakangi
niat saya bisa berbahasa Jepang.”
Gadis itu tersenyum. “Edukasi
kita mirip. Tapi motivasinya beda.”
“Eh, kamu ceritakan dong sedikit tentang Jepang. Hm,
saya paling suka melihat bunga sakura….”
***
“Bunga sakura berwarna merah
muda. Sangat muda sehingga nampak memutih dari kejauhan. Bunga ini mempunyai
lima kelopak
dan sangat kecil, sehingga sulit dinikmati keindahannya secara individual.
Keindahan sakura justru terletak pada jumlahnya yang sangat banyak memenuhi kanopi
pohon, dan mekar bersamaan. Seperti halnya tulip di Belanda, mekarnya sakura
juga menandai awal musim semi di Jepang”.
Sudah pukul sebelas malam ketika Ruki menceritan keindahan
simbol Negeri Matahari Terbit tersebut. Hingar bingar suasana café sedikit
mengganggu. Namun gadis itu masih saja bersemangat berkisah tentang
negerinya.
“Dan di Taman Ueno….”
“Taman Ueno?”
“Haik.
Taman Ueno merupakan salah satu sakura
garden yang paling ramai dikunjungi di Tokyo. Eh, sebetulnya di Tokyo ada beberapa tempat untuk melihat
sakura pada awal musim semi. Misalnya, di seputaran Istana Kaisar ‘Imperial Park’, yang dikelilingi dengan danau
buatan Hanzo-bori yang ciamik. Danau itu tampak lebih cantik dengan pantulan bayangan
juntaian cabang-cabang pohon sakura yang sarat dengan bunga, yang menjulur ke
atas air danau. Seperti cermin raksasa. Wah, indah sekali pokoknya. Turis-turis
mancanegara yang kebetulan menginap di Palace Hotel, dapat melihat dengan
leluasa pemandangan ‘Imperial Park’ yang sangat indah melalui jendela kamar
mereka.”
“Duh, asyik sekali.”
“He-eh,” angguk gadis itu dengan mata berbinar-binar.
Dijedahinya lima
detik cerocosannya untuk menyeruput jus apel pesanannya. “Bersamaan dengan
mekarnya sakura, di bawah-bawah pohon sakura biasanya telah pula muncul bunga-bunga
kecil berwarna kuning yang menambah cantik suasana. Di Taman Ueno, tidak jauh
dari stasiun kereta Ueno, sakura malah tumbuh menakjubkan. Sewaktu Fifa World
Cup 2002, saya sempat mampir ke sana.
Transportasi ke sana
juga tidak sulit. Karena dari stasiun Ueno ini memang ada kereta langsung ke
Narita. Kalau di ‘Imperial
Park’ pengunjung tidak
boleh menggelar tikar untuk piknik dan makan, di Ueno hampir semua pengunjung
datang justru untuk piknik. Tidak perlu kuatir seandainya lupa membawa bekal
makanan dari rumah. Cukup banyak kedai kecil di sekitar Ueno yang menjajakan o-bento untuk di makan di Ueno.”
“O-bento?”
“Itu sejenis makanan dalam kotak.” Ruki menjelaskan
antusias. “Hampir semua orang Jepang tidak pernah melewatkan kesempatan
setahun sekali berpiknik di bawah naungan sakura. Orang Jepang menyebut
kegiatan itu sebagai hana-mi, yang
secara harfiah berarti menonton bunga. Sekalipun bunga sakura sudah mulai
mekar pada akhir Maret, biasanya baru pada minggu kedua April diselenggarakan
festival sakura. Setiap acara festival, masyarakat Jepang selalu memadati
taman-taman maupun tempat-tempat bunga sakura itu tumbuh.”
“Wah, heboh sekali, dong?”
“Sudah pasti. Terus, ada pula tradisi di kalangan
para petani Jepang, yaitu melakukan upacara minum sake4 di bawah naungan kanopi bunga sakura. Upacara ini
bertujuan untuk mengharapkan hasil panen yang baik pada tahun berikutnya.” Ruki
masih bercerita panjang-lebar. “Eh, mungkin mirip dengan kegiatan kultural
orang-orang Sulawesi Selatan di Indonesia jika habis menuai padi. Kalau tidak
salah namanya ‘Lappo Ase’. Kira-kira berarti Panen Raya.”
“Wah, kamu masih ingat budaya Bugis-Makassar, ya?”
“Sedikit, sudah lupa-lupa ingat.” Ruki mengerutkan
dahinya. “Orang Jepang juga percaya bahwa pohon sakura merupakan tumbuhan
suci yang menyimbolkan hubungan antara Tuhan dan manusia. Karena itu,
melakukan hana-mi juga merupakan
ritual keagamaan. Yang jelas, ketika menyaksikan keindahan sakura, orang
tidak mungkin menyangsikan keagungan Tuhan.”
“Oya? Ternyata bunga sakura
memiliki banyak makna, ya?”
“Kalau bicara mengenai bunga
sakura, pasti tidak ada habisnya,” ulas Ruki bangga. “Sakura memang bunga yang
sangat dicintai dan dibanggakan masyarakat Jepang. Bahkan menjadi simbol
nasional bangsa kami. Para pejabat pemerintah
dan diplomat Jepang misalnya, sering menggunakan lambang sakura sebagai label
pin pada jas mereka. Bunga sakura juga menjadi desain yang muncul dalam berbagai
kerajinan khas Jepang. Seperti pada kimono5,
tatami6, kipas, cangkir,
dan lain-lain.”
“Duh, saya jadi ngiler ke
Jepang.” Sarwana berujar dengan mimik memelas.
“Oh ya, lalu obsesimu bagaimana,
dong?”
Cowok itu menggeleng lunglai.
Sinar di matanya meredup. Dihimpunnya alur lawas yang tersimpan di memori
otaknya. Hatinya memerih. Ada
seribu kenangan getir dalam lembar-lembar hitam masa remajanya. Dia ingin
melupakan segalanya. Membilasnya dengan buliran waktu yang berjalan cepat. ©
Langganan:
Postingan (Atom)